Selasa, 30 Agustus 2011

पेन्येसुऐअन अवल hijriyah

Penyesuaian Awal Bulan Hijriyah, Urusan Fiqih atau Poitik?




Fatwa ru'yah bulan Ramadhan dan perbedaan yang terjadi antara negara-negara Islam dalam penentuan awal bulan Ramadhan saat ini mungkin dianggap menjadi satu masalah. Sebagaian mengatakan bahwa hal tersebut merupakan keputusan politik bukanlah kewajiban taabuddiyah.

Apa tanggapan Anda dalam masalah yang senantiasa terjadi pada setiap tahunnya ini?


Jawab :

Saya meyakini hal ini tidak berkaitan dengan masalah politik, justru sebaliknya berkaitan dengan masalah fiqh. Mengapa? Karena masalah ini mempunyai landasan fiqh sendiri. Bahkan, beberapa madzhab pun berselisih pendapat dalam hal istbat Ramadhan.

Pendapat pertama mengatakan kesaksian satu orang sudah cukup, pendapat lain mengatakan harus dengan kesaksian dua orang.

Sedangkan madzhab Hanafi menetapkan ru'yah haruslah dilakukan dalam jumlah banyak dan dalam tempo singkat. Mereka mengatakan dalam kondisi berawan bisa saja awan menghilang, kemudian hilal itu nampak dan hanya disaksikan oleh satu orang, kemudian langit kembali berawan (mendung). Tetapi pada saat kondisi langit cerah, mengapa hanya disaksikan oleh satu dua orang bukan dengan orang banyak? Dengan dalil inilah maka disyariatkan ru'yah itu dikerjakan oleh orang banyak, 50 orang misalnya. Ini bagi saudara-saudara kita yang tinggal dinegara-negara seperti Pakistan, Afghanistan, India dll.

Sedangkan di negara seperti Saudi Arabia kesaksian dua orang saleh dalam melihat hilal, dianggap sudah mencukupi.

Itu dari satu sisi persoalan. Kemudian dari persoalan lain, ketika bulan Ramadhan sudah ditentukan oleh suatu negara, apakah negara-negara lain wajb mengikuti itsbat (penentuan) tersebut?

Dalam hal ini juga terjadi perselisihan pendapat. Sebagaian ulama mengatakan setiap negara mempunyai ru'yah masing masing. Sebagian lain menakan negara-negara lain wajib mengikuti istbat yang sudah ditentukan oleh negara lain.

Perselisihan seperti ini sudah terjadi sejak masa para sahabat. Dengan alasan telah dikatakan kepada Abdullah bin abbas bahwa Muawiyah berpuasa pada jumat malam. Akan tetapi kami mulai berpuasa pada sabtu malam dan terus berpuasa sampai melihat hilal atau dengan menyempurnakannya sampai 30 hari dan tidak mengilkuti puasanya Muawiyah. Dari sinilah muncul perselisihan dari segi astronomi (falak). Sebagaian madzhab seperti Hanbali menolak hisab. Sedang Mathraf bin Abdullah mengatakan sejak masa Tabiin cara hisab sudah mulai dipakai.

Abu Abbas bin Suraij-pengikut madzhab Syafii-juga menggunakan cara hisab dalam menentukan awal atau akhir bulan. Dengan dalil sabda Rasulullah saw. "Jika hilal tak tampak olehmu maka kira-kirakanlah!"

Oleh sebab itu, orang-orang Syafi'iyyah berpendapat, seorang hasib (ahli ilmu hitung) beramal dengan hasil hisabnya, begitu juga mereka yang mempercayai hisab tersebut maka ia juga beramal sesuai dengan apa yang diperoleh dari hasib tersebut.

Di antara ulama yang menempuh cara hisab tersebut adalah Syaykh Ahmad Syakir, ahli Hadis salafi yang dikenal lewat risalahnya "Awail al-Syuhur al-'Arabiyyah", dan Syaykh Mustafa al-Zurqa. Akan tetapi saya sendiri memilih jalan tengah. Saya katakan: "Kita menggunakan hisab dalam hal al-nafyi (meniadakan) bukan dengan dengan itsbat (menetapkan). Artinya, kita mengitsbat dengan mata telanjang (ru'yah bashariyah) atau dengan teropong. Tapi dengan syarat, ahli hisab tidak mengatakan bahwa ru'yah tersebut tidak mungkin atau mustahil dilakukan.

Jika secara astrologi Hilal tidak nampak (hitungan), maka tidaklah mungkin diru'yah. Sedangkan pada kondisi tertentu mungkin ru'yah dilakukan setelah sempurna hitungan falak, barulah dilakukan itsbat. Teori ini dinashkan oleh salah seorang imam pengikut Mazhab Syafi'i, yaitu Taqiyyuddin al-Sabki. Kalau secara falak hilal itu belum nampak, maka tidaklah diambil kesaksian beberapa saksi. Hal ini disebabkan kesaksian itu bersifat dugaan (dzanniy), sedangkan perhitungan ahli hisab itu sendiri bersifat pasti (qath'i). Sedangkan dalil dzanniy tidak mengalahkan dalil qath'i. Dengan demikian kita sudah memperkecil atau mengurangi perbedaan yang terjadi.

Yang sangat disayangkan, sejak beberapa tahun selisih perbedaan itu mencapai masa empat hari. Ini suatu hal yang tak masuk akal.

Kalau kita mengambil dengan cara hisab, kemudian dilanjutkan dengan cara ru 'yah, hasilnya akan saling mendekati. Walaupun sekiranya terjadi perbedaan, cuma satu hari saja, tidak lebih.

Selanjutnya saya ingin mengatakan, kalaulah sulit kita menyatukan seluruh kaum muslimin di seluruh dunia (dalam hal itsbat), maka kita bisa menerapkan kesamaan itsbat dalam satu negara. Artinya dalam satu negara tidak terjadi perbedaan dalam penentuan awal atau akhir bulan Ramadan. Mereka yang di wilayah barat berpuasa sesuai dengan hasil ru'yah yang sudah mereka lakukan dengan peralatan yang lebih modern tentunya.

Oleh karena itu, kita mencoba membentuk Majlis Islami yang bertugas menangani masalah kapan penentuan awal puasa dan awal berbuka (Syawal).

Saya tutup pembahasan ini bahwa kesalahan dalam satu masalah bisa ditolerir. Kalau seseorang melakukan kesalahan dalam satu hari dari bulan Sya'ban atau Ramadhan, dan mengulanginya (menggantinya), hal ini bisa diterima. Yang terpenting seseorang berpuasa dan berbuka bersama dengan penduduk di daerahnya. Sabda Rasulullah saw. "Puasamu adalah di hari-hari di mana kalian berpuasa, dan bukamu adalah di hari di mana kalian berbuka, dan kurbanmu adalah di hari dimana kalian berkurban."

Alih bahasa : SM. Mahfoedz.
* Diambil dari fatwa DR.Yusuf Qordowi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar