Jumat, 16 September 2011
PERLUASAN DA'WAH BERDAMPAK PENURUNAN KUALITAS ?
Perluasan Da’wah Berdampak Penurunan Kualitas?
Ketika tuntutan da’wah mengarahkan kerja kita pada perluasan wilayah da’wah dengan peningkatan rekrutmen kader, muncul penilaian di sementara kalangan bahwa kualitas kader-kader baru semakin menurun. Benarkah ini? Bagaimana kita memandang persoalannya?
Bila dilihat secara permukaan, sangat mungkin penilaian itu benar. Tetapi dengan cara pandang yang utuh, kita bisa menguji kembali keabsahan penilaian itu. Ada hal-hal prinsip yang harus dipahami.
Pertama, perluasan da’wah berarti memperluas wilayah interaksi da’wah ke berbagai unsur dan segmen masyarakat yang sangat beragam. Keberagaman sosio-demografis, tentu saja berpengaruh kepada keberagaman standar kualitas penerimaan da’wah. Dalam sunnah da’wah, as-sabiqunal awwalun selalu memiliki standar kualitas lebih tinggi dari generasi berikutnya.
Sampai kemudian terjadi upaya tajdid (pembaharuan) atas kualitas generasi berikutnya. "Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Berada dalam surga keni’matan. Segolongan besar dari orang-orang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang kemudian." (QS. 56:11-14).
Generasi awal da’wah ini direkrut dari unsur pemuda terdidik yang memiliki kesiapan optimal untuk menjadi anashir da’wah yang muntij (produktif). "Sesungguhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk. Dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka berkata: "Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran." (QS. 18:13-14).
Sekarang ini, perluasan da’wah menghasilkan rekrutmen dari beragam segmen (misalnya: kaum pekerja, ibu rumah-tangga, buruh, dan lain sebagainya) dengan keberagaman tingkat penerimaan Islam dan keberagaman tingkat interaksi da’wahnya. Sehingga sangat mungkin di antara mereka ada orang-orang seperti digambarkan dalam ayat: "Orang-orang Arab Badwi itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah "Kami telah tunduk". Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. 49:14).
Kedua, perluasan wilayah da’wah juga menuntut pengembangan pada uslub (metode), wasilah (sarana) dan ijro’at (mekanisme) rekrutmen dan pembinaan. Pada generasi awal da’wah, ada kebutuhan percepatan proses pembinaan ke arah takwin. Sehingga dalam waktu relatif singkat, terbangun komitmen Islam dan komitmen da’wah yang kuat. Lalu semakin dimatangkan dengan interaksi da’wah secara langsung. "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. 3:104).
Ketika terjadi perluasan da’wah, proses pengkondisian dan seleksi da’wah berjalan lebih panjang. Ini penting, untuk mengukur tingkat kesiapan penerimaan da’wah sehingga kita tidak memberikan beban melampaui kadar kemampuan obyek da’wah. Metode, sarana dan mekanisme rekrutmen serta pembinaan pun dikembangkan sedemikian rupa, sehingga bisa menjangkau dan menampung obyek da’wah secara lebih masal. "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan." (QS. 5:35).
Bila kita amati perkembangan da’wah ‘ammah dalam 5 sampai 10 tahun terakhir, ada banyak ijtihad dalam pola rekrutmen dan pembinaan da’wah. Ini hal yang baik dan dimungkinkan, karena ada dalam wilayah mutaghayyirat (hal-hal yang dinamis).
Ketiga, da’wah Islam sesungguhnya membutuhkan sangat banyak anashir dengan beragam kondisi dan kemampuannya. Di antara mereka ada yang dijadikan qaidah siyasiyah (basis kepemimpinan), qaidah fikriyah (basis pemikiran), qaidah harakiyah (basis gerak) dan juga qaidah ijtima’iyah (basis sosial). Bahkan dalam sunnah da’wah, qaidah ijtima’iyah harus jauh lebih besar dari basis-basis da’wah lainnya. Perbedaan setiap qaidah tentu saja mengarah kepada perbedaan standar kualitas yang dimiliki. Sehingga yang dibutuhkan dalam melihat keberagaman standar kualitas adalah pada siasat untuk menempatkan dan mendayagunakan anashir tersebut dalam bangunan amal jama’i da’wah. Perhatikan firman Allah SWT:
"Katakanlah: Hai kaumku, bekerjalah kamu sesuai dengan keadaanmu. Sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui..." (QS. 39:39).
Terakhir, tentu saja Allah SWT telah meletakkan miqyar ‘aam (standar umum) dalam menilai keimanan dan keshalehan seseorang. Parameternya disebutkan dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga bingkai besar kita dalam menilai dan menimbang kualitas kader adalah pada timbangan Islam itu sendiri. Tidak lebih dan tidak kurang. Firman Allah SWT: "Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kami mengurangi neraca itu." (QS. 55:7-9). Jadi selama aspek-aspek kualitas kader da’wah tidak keluar dari bingkai umum ajaran Islam, maka mereka adalah kader yang berkualitas.
Mensikapi "Kesalahan" Kader
Dari keempat prinsip ini, kita akan mampu melihat masalah ini secara lebih utuh dan obyektif. Akan tetapi, barangkali ada yang menyoroti menurunnya kualitas dari sisi terjadinya kasus-kasus pelanggaraan syari’at dalam beberapa aspek kehidupan. Baik dalam urusan mu’amalah ataupun da’wah. Bagaimana ini?
Bila ini terjadi, memang hal yang memprihatinkan. Karena sejatinya kader-kader da’wah menjadi orang-orang terdepan dalam melakukan kebajikan dan juga terdepan dalam meninggalkan kemunkaran. Tetapi manusia adalah tempatnya kesalahan. Dan Allah SWT menyediakan sifat
Pema’af, Pengampun dan Penerima Taubat kepada manusia-manusia beriman yang melakukan kesalahan. Artinya kesempurnaan ajaran Islam muncul ketika Islam menerima kesalahan perbuatan manusia sebagai keniscayaan, dan memberikan jalan bagi perbaikannya. Ini tinjauan dari sisi manusia sebagai individu.
Tinjauan lain adalah proses tasyri’. Sebagian dari syari’at Islam diturunkan Allah SWT karena kasus-kasus kesalahan yang dilakukan nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Penetapan hukum ini berkaitan dengan urusan rumah-tangga, jual-beli, makan-minum, ibadah, da’wah dan juga jihad. Artinya, ketika terjadi kesalahan-kesalahan dalam komunitas da’wah, maka hal itu mesti diperlakukan dalam perspektif tasyri’.
Di sinilah kemudian pola hubungan qiyadah-jundiyah diberlakukan dalam konteks penerapan syari’at Islam. Perhatikan firman Allah SWT: "Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk dita’ati dengan izin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya, datang
kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan. Dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS. 4:64-65).
Dalam kaitan ini, maka da’wah dan jajaran qiyadahnya di semua lini harus mampu mengelola masalah-masalah semacam ini untuk pengokohan tahqiq as-syari’ah dalam kehidupan berjama’ah. Juga untuk mematangkan kualitas kader ketika mereka belajar banyak dari kesalahan-kesalahan yang terjadi. Marilah kita mengambil ibrah dari kisah Haditsul-Ifki yang
menggegerkan itu. "Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong iyu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap orang dari mereka mendapatkan balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar." (QS. 24:11).
Pada sisi lain, ketika ada sementara orang yang sulit diperbaiki dari kesalahan-kesalahannya, sangat mungkin ia merupakan cara Allah untuk membersihkan shaf da’wah. "Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu’min). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya diantara rasul-rasulNya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya.Dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar." (QS. 3:179).
(Artikel dari beberapa sumber agenda tarbiyah)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar