Jumat, 09 September 2011
SEPTEMBER TAK PERNAH CERIA
Blaaar...!!!
Menggelegar dan mengguncang Jakarta. Tubuh-tubuh terpelanting, bersimbahan serpihan kaca yang bertaburan. Merah kental sontak menyaput hitam aspal jalanan. Beribu wajah mendadak berubah pias, berbalut ketakutan.
Asap putih pekat membumbung. Pelan, tapi semakin meninggi. Suasana menjadi kacau-balau dan mengerikan, berbaur air mata yang bercucuran membasuh muka. Bukan, bukan bening! Merah, karena tercampur darah. Di mana-mana hanya terdengar erangan, rintihan dan ratapan.
Tangis semakin menjadi-jadi, diselingi jerit kesakitan. Berteriak, namun tiada harapan. Tampak jalanan semakin merah dengan potongan tubuh manusia yang berserakan. Banyak! Tercerai-berai di bawah kendaraan, pepohonan dan bangunan berhampiran.
Api masih berkobar panas, serakah menjilat sisa bangunan. Percik darah juga semakin banyak, menggumpal di tepi trotoar dan mewarnai rontok dedaunan. Bagaikan menjadi saksi akan hilangnya rasa kemanusiaan.
Perlahan waktu beringsut. Tuding sana-sini berhamburan. Kambing hitam mendadak dimunculkan di mana-mana. Telunjuk menuding tanpa menggunakan nalar pikiran, apalagi hati.
Jutaan jiwa yang bersih terhenyak dan termangu. Ingin membantah, namun tiada daya. Hanya tertunduk, menyerah pada kehinaan dan pasrah pada ketidakberdayaan. Air mata pun mengembang di kelopak mata, menitik dan jatuh mengalir membasahi bumi yang merekah.
Sementara di belahan bumi sana ada yang tertawa-tawa senang. Terbahak-bahak hingga perutnya yang gendut terguncang-guncang. Bertepuk tangan dengan riang gembira padahal kedua tangannya berlumuran darah.
Sabra dan Shatila ...
September, tiga puluhan tahun silam juga bersimbah genangan darah.
Di sebuah sudut teronggok mayat-mayat yang membengkak, korban penjagalan. Pembunuhan meninggalkan wanita-wanita yang terburai isi lambungnya. Banyak! Tak terhingga jumlahnya. Para wanita hamil hidup-hidup dirobek perutnya dengan bayonet, sehingga bakal bayi-bayinya bisa direnggut keluar. Gadis remaja diperkosa sebelum dijagal. Raut wajah mereka tak rela, karena kebejatan sang durjana. Sementara remaja pria dikebiri kemaluannya.
Di sudut lain, bayi-bayi mungil menjadi hitam legam karena terpanggang. Mereka bergelimpangan di jalanan bagaikan gunungan sampah. Lalat-lalat berkerubung, berlomba-lomba hinggap di kental darah.
Di sampingnya, tak terkira cabikan tubuh laki-laki dewasa yang bertebaran di mana-mana. Pun ada yang sedang memeluk sayang buah hatinya dengan punggung berlubang. Dan, ada pula mata-mata bercelak yang terbelalak karena buah hati tercinta disayat-sayat di depan hidungnya.
Tak terhitung selongsong peluru senjata mesin dan magazine, hingga pecahan granat yang berserakan di sela-sela potongan kepala, tangan, atau kaki yang dipenggal.
Senjata penjagal memang tak bermata, menggorok, menerjang dan membunuh siapa saja. Bayi, remaja, orang dewasa, tua renta bahkan janin-janin menjadi korban yang tak berdosa. Tak hiraukan pula tempat dan kapan terjadinya. Di pos-pos pemeriksaan, pasar, rumah sakit, sewaktu berdiri di pojok jalan bahkan di atas ranjang.
Belasan ribu mereka yang tak berdosa kehilangan nyawa, dan setengah juta orang kehilangan tempat tinggal.
Hingga sekarang penjagal itu masih ada di bumi Al Aqsa, dan tak pernah berhenti meneteskan darah para syuhada. Ia bebas berkeliaran karena dilindungi oleh penjagal lainnya dari sebuah negara adikuasa.
Entahlah ...
September seakan tak pernah ceria seperti sebuah tembang yang pernah tercipta dan berkisah tentang selarik harapan cinta dan asmara.
September yang sekarang ada hanyalah air mata, putus asa, jerit ketakutan, dan genangan darah bercampur cabikan tubuh yang tercecer di belahan bumi mana saja.
AstaghfiruLlah ...
Wallahua'lam bi shawab.
Abu Aufa
ferryhadary@yahoo.com
(Terhatur untuk semua korban tak berdosa, maaf, hanya sebentuk cinta dalam buaian pena)
eramuslim.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar